Kamis, 28 Maret 2013

KARYA TULIS

-->
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga kami
dapat menyelesaikan
LAPORAN
STUDI TOUR CANDI BOROBUDUR
yang
disusun untuk memenuhi salah
satu Program Sekolah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Penyusun


1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
     MTsN Bandung mengadakan study wisata karena adanya program/agenda tahunan yang
dilaksanakan pada akhir semester genap.
   
      Program ini dilaksanakan sebagai wujud cinta pada alam yang masih ias kita lihat sampai sekarang
ini, selain itu MTsN Bandung mengadakan study wisata bertujuan sebagai wujud cinta pada bangsa yang
telah mempersembahkan salah satu keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur yang telah diakui oleh
UNESCO dan sebagai wujud rasa Nasionalisme pada bangsa.

      Study wisata dilaksanakan oleh siswa-siswi kelas IX karena sebagai tugas akhir untuk semester genap
dan sebagai perwujudan penerapan pengetahuan umum dan agama.

Contoh Umum:
-IPA
-SEJARAH
-GEOGRAFI dll
Contoh Agama:
-SKI
-FIQIH
-AKHIDAK AKHLAK
-AL-QUR’AN HADIST dll.






2
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan ini adalah:
-Bagaimanakah fungsi Candi Borobudur bagi masyarakat setempat?
-Bagaimanakah fungsi Candi Borobudur ditinjau dari bidang agama?
-Bagaimanakah fungsi masing-masing bagian bangunan Candi Borobudur?
-Bagaimanakah fungsi Candi Borobudur ditinjau dari segi ilmu pengetahuan?
-Bagaimanakah proses/awal mula berdirnya Candi Borobudur?

1.3 Tujuan
-Mengetahui fungsi Candi Borobudur bagi masyarakat setempat.
-Mengetahui fungsi Candi Borobudur ditinjau dari bidang agama.
-Mengetahui fungsi masing-masing bagian bangunan Candi Borobudur.

1.4 Peserta
-Siswa kelas IXA-IXF
-Guru:     -Wali kelas:Tri Prasetiyo S.Pd (Matematika)
                 -Pembina: Lilik Agustiani S.Pd (Fisika)
                -Pendamping: -Drs.Sugito M.Pd (IPS)
                                           -Tri Prasetyo S.Pd (Matematika)
                                           -Dra. Wasiyah (BP)

1.5 Waktu Pelaksanaan
-Hari,tanggal: Senin 07-Januari 2013-Rabu 09 Januari 2013
-Pemberangkatan: di MTsN Bandung pukul 21.30 WIB
-Kepulangan: di MTsN Bandung pukul 02.00 WIB





3
BAB II PEMBAHASAN



2.1 Fungsi Candi Borobudur bagi masyarakat setempat ialah:
- Tempat menyimpan relik-relik yaitu benda-benda suci peninggalan dari sang Budha/para Bhiksu yang ternama
-Untuk memuliakan raja yang telah mangkat dan untuk memperingati jasa-jasa sang raja semasa hidupnya.

2.2 Fungsi Candi Borobudur dari bidang agama ialah:
Fungsi Candi Borobudur adalah hampir sama dengan fungsi dari candi pada umumnya yaitu untuk memuliakan raja yang telah mangkat dan untuk memperingati jasa-jasa sang raja semasa hidupnya. Candi Borobudur berfungsi sebagai kuil atau tempat sembahyang, walaupun ternyata sulit disesuaikan, karena tidak ada bilik khusus yang dipergunakan untuk memuja serta tidak ditemukannya patung dewa khusus yang dipuja. Dari sini kemudian muncul beragam sintesa mengenai borobudur, salah satu sintesa adalah bahwa borobudur merupakan kitab/buku yang menjelaskan hal ikhwal manusia dalam perjalanan hidupnya. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa Borobudur adalah miniatur dunia yang dikemas dalam kosmologi budhisme, borobudur mengajarkan segala hal yang berkaitan dengan serba-serbi manusia, tentang yang baik dan yang buruk dan tentang jalan menuju kesempurnaa hidup yang hakiki.
Arti Candi Borobudur secara simbolis dapat dilihat dari ketiga tingkatan yaitu Kamadhatu – Rupadhatu – Arupadhatu yang melambangkan dunia manusia biasa, dunia manusia suci dan dunia kedewaan. Ini berarti bahwa candi Borobudur mencerminkan nilai-nilai tertinggi Agama Budha dan mengandung rasa rendah hati yang disadari oleh penciptanya sedalam-dalamnya.
( Soekmono, 1981).
Lain dari pada itu, borobudur memiliki makna yang berbeda apabila ditilik dari segi sejarahnya, borobudur adalah sebagai pertanda zaman keemasan dan kemakmuran masyarakat setempat, dengan kata lain borobudur juga mengidentifikasikan kestabilan kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada masa itu.
2.3 Fungsi Masing-masing bagian bangunan Candi Borobudur sebagai berikut:
-Kamandhatu: Menggambarkan adegan-adegan Karmawibangga. Sebanyak 160 buah bingkai relief menggambarkan hukum sebab dan akibat.
-Rupadhatu: Menggambarkan bagian kehidupan manusia yang sudah meninggalkan nafsu rendah dan jahat
-Arupadhatu: Menggambarkan bagian kehidupan manusia yang sudah meninggalkan sifat keduniaan. Alam yang dimaksud adalah alam batin atau alam spiritual. Tak ada lagi nafsu dan bentuk.

2.4 Fungsi Candi Borobudur ditinjau dari segi ilmu pengetahuan

Tinjauan Astronomi Modern
Penggunaan ilmu astronomi untuk pembangunan tempat suci sepeerti borobudur juga dapat dibuktikan dengan pembangunan keajaiban dunia lainnya seperti kompleks piramida di Mesir. Lokasi piramida-piramida yang ada jika dihubungkan akan membentuk susunan sebagian bintang-bintang rasi Orion. Bukan hanya tiga bintang di sabuk Orion, seperti pada Borobudur- Pawon-Mendut, tapi juga beberapa bintang terang di rasi itu.
Pembangunan bangunan-bangunan suci lain, seperti piramida bangsa Maya, Inca, dan Aztec, juga dibangun berdasarkan pergerakan dan posisi benda-benda langit. Masyarakat saat itu telah memiliki pengetahuan tentang benda-benda langit.
Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi. Penelitian selama 2,5 tahun yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung, menunjukkan, stupa utama candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6. Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8, dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu. Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa atau sistem perhitungan musim Jawa.
Nenek moyang Bangsa Indonesia sejak jaman dahulu menggunakan rasi bintang di langit sebagai penanda waktu misalnya, masyarakat Jawa Tengah mengamati rasi bintang Orion hingga terbit dengan ketinggian tertentu untuk menentukan awal masa bercocok tanam.
Borobudur bisa saja merupakan sebuah monumen astronomi yang merekam semua gerak langit di jaman itu. Bentuk candi yang cukup unik. Bila diamati dari langit, bentuknya simetris. Lantai 1 sampai 7 berbentuk persegi sama sisi sedangkan lantai 8 sampai 10 berbentuk lingkaran dengan pusatnya sebuah stupa utama dengan total tinggi 20 meter dan diameter 17 meter. Stupa utama ini memiliki posisi yang unik, berada di pusat lingkaran stupa – stupa kecil. Dari bentuk candi yang simetris inilah (seperti sebuah jam) akhirnya menimbulkan hipotesa bahwa stupa utama candi mempunyai fungsi sebagai sebuah penanda waktu.
Pengamatan di Candi Borobudur. Diamati pola bayangan stupa utama ketika matahari berada di titik Vernal Equinox (titik perpotongan bidang ekuator langit dan bidang ekliptika) yaitu 19 sampai 20 maret. Waktu ini dianggap istimewa karena pada hari itu matahari akan terbit dan terbenam di arah timur dan barat benar (east true & west true). Dengan berbekal data pengamatan ini dibuat sebuah model bayangan stupa utama setiap hari dalam satu tahun dan dikoreksi terhadap kesalahan pengukuran dan pengamatan.
Hasilnya bayangan stupa utama membuat pola yang khas yang jatuh pada stupa kecil tertentu disekitarnya. Contoh penerapannya secara praktis seperti ini, kalau kita melihat bayangan stupa utama jatuh pada stupa 1 di tingkat 8 maka saat itu merupakan waktu bertanam (misalnya saja). Candi Borobudur adalah sebuah jam raksasa di tahun 800. Nenek moyang Bangsa Indonesia yang menciptakan candi hebat itu ternyata sudah mengenal astronomi dengan baik dan menerapkannya untuk membantu keseharian hidupnya.
Kehebatan Borobudur lainnya dalam bidang sains astronomi modern adalah jika ditarik garis dari Candi Borobudur ke Candi Pawon dan Candi Mendut, ketiga candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, itu berada dalam satu garis lurus. Ketiganya berada dalam garis miring ke arah timur laut. Belum ada penjelasan pasti atas kesegarisan tiga candi Buddha ini karena ketiadaan dokumentasi tertulis tentang hal itu.
Hal itu menunjukkan bahwa pembangunan candi borobudur tidak dilakukan sembarangan. Ada tujuan dan konsep dasar yang melandasinya. Pembangunan biasanya diawali dengan meditasi dan proses metafisika lain untuk menentukan lokasi candi. Ilham yang diperoleh selanjutnya diuji dengan berbagai pengetahuan yang ada untuk memastikan lokasi itu layak dibangun candi. Pengetahuan yang digunakan untuk menguji lokasi yang ditemukan bisa disejajarkan dengan ilmu dan teknik modern yang ada saat ini. Tanah di lokasi bakal candi harus berkualitas terbaik untuk didirikan bangunan dan subur.
Candi Pawon dan Mendut memang terlihat segaris jika dilihat dari Borobudur. Namun, jika mengacu pada konsep kesegarisan itu harus berorientasi pada arah mata angin, yaitu timur-barat atau utara-selatan, maka ketiga candi ini tidak segaris. Orientasi arah mata angin ini penting karena arah timur-barat dan utara-selatan diyakini sebagai sumbu semesta.
Menurut para ahli astronomi modern, kesegarisan Borobudur-Pawon-Mendut ini terkait dengan tiga bintang di rasi Orion yang dinamai Alnitak-Alnilam-Mintaka. Garis lurus yang menghubungkan Alnitak-Alnilam-Mintaka juga miring seperti garis yang menghubungkan Borobudur-Pawon-Mendut. Saat Orion berada di atas kepala, posisi kemiringan garis ketiga bintang itu mirip dengan kemiringan garis Borobudur-Pawon-Mendut.
Dalam mitologi Yunani dan Romawi, ketiga bintang itu terletak di sabuk rasi Orion, rasi yang menggambarkan seorang pemburu. Dalam khazanah Nusantara, ketiga bintang itu terletak pada sambungan antara bajak dan pegangan bajak pada lintang luku atau waluku yang digambarkan sebagai bajak sawah.
Pengamatan dan pencermatan yang dilakukan menghasilkan penamaan dan penerapan benda-benda langit tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa menggunakan lintang luku sebagai penanda musim. Kehadiran waluku di timur sesudah Matahari terbenam menunjukkan datangnya musim tanam. Jika ia terlihat di barat pada awal malam, menandakan tibanya musim kemarau.
Kesegarisan Borobudur-Pawon-Mendut dapat diperoleh dengan memproyeksikan posisi Alnitak-Alnilam-Mintaka ke Bumi. Ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan membangun patok-patok penanda lokasi antarcandi.
Pembangunan candi dan bangunan suci lain didasarkan atas keselarasan antara faktor makrokosmos yang bersumber dari alam semesta dan faktor mikrokosmos yang bersifat insaniah.
Tinjauan Ilmu Geologi
Salah satu pengujian yang dilakukan adalah uji porositas untuk mengetahui kestabilan tanah. Cara yang digunakan adalah dengan menggali tanah dan melihat kecepatan rembesan air di dalamnya. Adapun uji kesuburan tanah dilakukan dengan menanam biji-bijian tertentu di lokasi tersebut. Penentuan lokasi candi dilakukan secara holistik, menggabungkan hal-hal bersifat metafisika dan logika yang dalam sains modern bisa dapat dijelaskan secara ilmiah.
Candi Borobudur dibangun dari 60.000 meter kubik batuan vulkanik dari Sungai Elo dan Progo yang terletak sekitar 2 km sebelah timur candi.
Candi Borobudur memiliki 100 talang air berbentuk makara (patung ikan berkepala gajah) sebagai saluran air sekaligus untuk menambah keindahan candi. Dahulu, air hujan yang mengalir melalui makara akan terlihat seperti air mancur. Candi Borobudur adalah puzzle raksasa yang tersusun dari 2 juta balok batu vulkanik yang dipahat sedemikian sehingga saling mengunci atau interlock.
Berhubung saat itu sistem metrik belum dikenal maka satuan panjang yang digunakan untuk membangun Candi Borobudur adalah tala yang dihitung dengan cara merentangkan ibu jari dan jari tengah atau mengukur panjang rambut dari dahi hingga dasar dagu.
Menu
MAJALAH ARKEOLOGI INDONESIA
DJULIANTO SUSANTIO, ARKEOLOG DAN PEMERHATI MUSEUM, LULUSAN JURUSAN ARKEOLOGI UI
Fakta Mengagumkan tentang Candi Borobudur
Jauh sebelum Angkor Wat berdiri di Kamboja dan katedral-katedral agung ada di Eropa, Candi Borobudur telah berdiri dengan gagah di tanah Jawa. Bangunan yang disebut UNESCO sebagai monumen dan kompleks stupa termegah serta terbesar di dunia ini, ramai dikunjungi oleh peziarah pada pertengahan abad ke-9 hingga awal abad ke-11. Umat Buddha yang ingin mendapatkan pencerahan berduyun-duyun datang dari India, Kamboja, Tibet, dan China. Tidak hanya megah dan besar, dinding Candi Borobudur dipenuhi pahatan 2672 panel relief yang jika disusun berjajar akan mencapai panjang enam kilometer. Hal ini dipuji sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia, tak tertandingi dalam nilai seni.
Relief yang terpahat di dinding candi terbagi menjadi empat kisah utama, yakni Karmawibangga, Lalita Wistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuha. Selain mengisahkan tentang perjalanan hidup Sang Buddha dan ajaran-ajarannya, relief tersebut juga merekam kemajuan masyarakat Jawa pada masa itu. Bukti bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut yang ulung dan tangguh dapat dilihat pada sepuluh relief kapal yang ada. Salah satu relief kapal dijadikan model dalam membuat replika kapal yang digunakan untuk mengarungi The Cinnamon Route dari Jawa hingga benua Afrika. Saat ini replika kapal yang disebut sebagai Kapal Borobudur itu disimpan di Museum Samudra Raksa.
Untuk mengikuti alur jalinan kisah yang terpahat pada dinding candi, pengunjung harus berjalan mengitari candi searah jarum jam (dikenal dengan istilah pradaksina). Masuk melalui pintu timur, berjalan searah jarum jam agar posisi candi selalu ada di sebelah kanan, hingga tiba di tangga timur dan melangkahkan kaki naik ke tingkat berikutnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga semua tingkat terlewati dan berada di puncak candi yang berbentuk stupa induk. Sesampainya di puncak, layangkanlah pandangan ke segala arah maka akan terlihat deretan Perbukitan Menoreh, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu yang berdiri tegak mengitari candi. Gunung dan perbukitan tersebut seolah-olah menjadi penjaga yang membentengi keberadaan Candi Borobudur.
Berdasarkan prasasti Kayumwungan (bertanggal 26 Mei 824), Candi Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga antara abad ke-8 hingga abad ke-9, berbarengan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon. Proses pembangunan berlangsung selama 75 tahun di bawah kepemimpinan arsitek Gunadarma. Meski belum mengenal komputer dan peralatan canggih lainnya, Gunadarma mampu menerapkan sistem interlock dalam pembangunan candi. Sebanyak 60.000 meter kubik batu andesit yang berjumlah 2.000.000 balok batu yang diusung dari Sungai Elo dan Progo dipahat dan dirangkai menjadi puzzle raksasa yang menutupi sebuah bukit kecil hingga terbentuk Candi Borobudur.
Borobudur tidak hanya memiliki nilai seni yang teramat tinggi, karya agung yang menjadi bukti peradaban manusia pada masa lalu ini juga sarat dengan nilai filosofis. Mengusung konsep mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta dalam ajaran Buddha, bangunan megah ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni dunia hasrat atau nafsu (Kamadhatu), dunia bentuk (Rupadhatu), dan dunia tanpa bentuk (Arupadhatu). Jika dilihat dari ketinggian, Candi Borobudur laksana ceplok teratai di atas bukit. Dinding-dinding candi yang berada di tingkatan Kamadhatu dan Rupadhatu sebagai kelopak bunga, sedangkan deretan stupa yang melingkar di tingkat Arupadhatu menjadi benang sarinya. Stupa Induk melambangkan Sang Buddha, sehingga secara utuh Borobudur menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas kelopak bunga teratai. Tidak banyak orang yang tahu bahwa di Candi Borobudur terdapat panel-panel relief yang tidak bisa dilihat oleh pengunjung. Relief tersebut terpahat di dinding kaki candi yang sekarang tersembunyi di balik tatanan batu yang berfungsi sebagai penguat dasar Candi Borobudur supaya tidak melesak ke bawah. Diambil dari naskah Maha Karmawibhangga, relief tersebut menggambarkan tentang karma atau hukum sebab akibat, serta surga neraka sebagai imbalan akibat kehidupan dalam reinkarnasi. Meski relief itu tidak bisa disaksikan secara langsung di candi, setidaknya foto 160 panel relief dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga.

2.5 Sejarah Berdirinya Candi Borobudur

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[19] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.[19] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[20] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[21][22]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[21] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.[23] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[24] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[24] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[25] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[26] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[26] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[27]

[sunting] Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
  1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
  2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
  3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
  4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.

[sunting] Borobudur diterlantarkan


Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[3][16] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[3]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[3] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[28] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

[sunting] Penemuan kembali


Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.[28] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[9]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.[29] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.[29] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[30]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[30] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.[31]

[sunting] Pemugaran

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[32] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[33] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.

Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[34] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[34] Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[35] Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[34] Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[36] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[4] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[4]

[sunting] Peristiwa kontemporer


Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[35] Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[37] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[38]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[39] Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[40] Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[6] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[7] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[41] Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.[42]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang. Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan. Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.

 Rehabilitasi

Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in) menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.
4
BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan
   
 Maka dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat pariwisata yang ada di Jogja yaitu Candi Borobudur itu sangat indah dan kita harus senantiasa menjaga serta merawatnya agar tetap asri seperti aslinya agar menarik para wisatawan untuk berlibur ke Jogja.

     Selain itu kota jogja yang menawan itu tidak harus kita tambahkan dengan budaya-budaya barat yang kita rasa sangat bagus atau trend.tapi justru itu salah,kita harus tetap menjaga budaya asli jogja itu
sendiri agar mempunyai keaslian yang khas dimata dunia. Jogja merupakan salah satu kota favorit para wisatawan untuk berlibur dan menghabiskan sisa waktu istirahatnya di tempat-tempat wisata
yang ada di jogja.walaupun banyakcerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat luas,para wisatawan
tetap antusias menikmati tempat- tempat pariwisata yang ada di jogja.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini banyak ditemui kesulitan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritikagar kami dapat menyempurnakan karya tulis ini.

     Demikianlah Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam pembuatan karya tulis ini banyak sekali kekurangan- kekurangan, untuk itu penulis sebagai manusia biasa mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua. Aamin








5